Selasa, 10 September 2013

Halal dari Awal, Halal hingga Akhir

Suatu hari, saya dan sahabat saya pergi ke Super Market untuk belanja kebutuhan bulanan, hehe (sekali-kali kan nggak apa-apa, kan cuma 1 bulan sekali). Dalam super market kami mulai memilih-milih barang yang ingin dibeli, tak lupa barang yang dibeli harus ada logo “Halal”nya juga. Bicara masalah halal nih, tidak hanya membeli produk yang berlogo “Halal” baik itu dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menjadi produk yang kita beli itu halal, tapi yang lebih penting bagaimana cara kita mendapatkan produk atau benda itu. Nah hal tersebut yang sering terlupakan oleh orang banyak, termasuk kita saat ini. Produknya halal, tapi uang dan cara mendapatkanya yang tidak halal. Yang lebih bahayanya, hal ini terjadi sejak kita kecil dan terbawa sampai kita dewasa, bekerja dan menafkahi anak –istri kita.  

Banyak yang tidak sadar, tentang halal dan haram ini. Ini dapat terjadi saat kita kecil. Bagaimana kita belajar, dari SD, SMP, dan SMA, sampe berlanjut ke Kuliah. Pernahkah terpikir oleh kalian saat SD, SMP, SMA, dan Kuliah di Universitas mencontek?. Ya, mencontek saat ujian, merupakan awal dari suatu yang tidak baik, bahkan dapat menyebabkan efek domino di masa depan. Sebagai contoh nih, waktu ujian UN SMA, banyak yang tidak perduli lagi dengan halal atau haram dari cara yang kita lakukan, demi kelulusan, dan mendapat nilai tertinggi. Saat dapat nilai tertinggi UN SMA, maka akan dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, tapi tahu kah kalian bahwa uang beasiswa tersebut bukan hak kita, karena bukan hasil dari yang halal, maka akan menyebabkan suatu yang tidak halal juga. Jika dibiarkan ini akan terus berlanjut terus-menerus, kemudian saat kuliah, demi mendapatkan nilai IPK yang tinggi, semua cara digunakan. Saat melamar pekerjaan dengan ijazah perguruan tinggi tersebut maka, satu lagi dosa jariyah akan terus mengalir (bisa disebut demikian), terlebih lagi ketika uang tersebut digunakan untuk menafkahi keluarga, anak-istri, secara tidak langsung maka keluarga dan anak-istri memakan sesuatu yang tidak halal, suma naudzubillah. Oleh sebab itu kawan, berperilaku jujur, berperilaku halal, akan menghasilkan sesuatu yang berkah, ingat, bukan berorientasi pada nilai, atau IPK, tapi lihat ke depan, berorientasi pada sesuatu yang halal, insya Allah akan lebih baik dan berkah. Halal caranya, halal sifatnya, dan halal hasilnya.

Hehe, kan lebih bangga suatu saat nanti, saat kita berkata kepada anak dan istri kita, “Aku menafkahi kalian dengan cara dan benda yang halal”


Dari al-Miqdam Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)” (HR. Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar